PANGKALPINANG, DAN – Puluhan hektar lahan bekas tambang timah yang semula gersang dan tidak produktif kini mulai bertransformasi menjadi kawasan hijau. Perubahan itu tidak terjadi begitu saja, melainkan lewat upaya reklamasi darat yang dijalankan PT Timah Tbk secara konsisten dalam beberapa tahun terakhir.
Pada semester pertama tahun 2025, perusahaan anggota Holding Industri Pertambangan MIND ID ini mencatat telah mereklamasi lahan seluas 75,52 hektare di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Program reklamasi tidak sekadar menutup lubang tambang atau meratakan tanah, melainkan sebuah rangkaian panjang yang dimulai dari perencanaan, survei lokasi, sosialisasi dengan masyarakat, hingga penanaman dan pemeliharaan jangka panjang.
Jenis tanaman yang ditanam pun bervariasi. Pohon fast growing seperti akasia, sengon, cemara laut, dan ketapang dipadukan dengan tanaman produktif bernilai ekonomi seperti kelapa sawit, karet, hingga buah-buahan. Tak ketinggalan, spesies lokal khas Bangka Belitung, seperti jambu mete, pelawan, seruk/puspa, hingga gelam, ikut mengisi ruang hijau yang terbentuk di sela-sela tanaman utama.
Pendekatan ini bukan tanpa alasan. Selain mengembalikan fungsi ekologis, PT Timah ingin memastikan lahan pascatambang juga memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. Beberapa lahan bahkan dialihfungsikan sesuai usulan warga dan pemangku kepentingan, misalnya sebagai lokasi wisata, area pemakaman umum, hingga sirkuit motorcross.
“Perusahaan tidak hanya menata lahan, tetapi juga menanam pohon-pohon yang sesuai dengan karakteristik tanah agar bisa tumbuh berkelanjutan,” kata Department Head Corporate Communication PT Timah Tbk, Anggi Siahaan.
Salah satu wajah nyata reklamasi terlihat di Kampoeng Reklamasi Selinsing, Belitung Timur. Di sini, PT Timah menggandeng BUMDes setempat untuk mengembangkan agroforestri dan ekowisata. Model reklamasi ini tidak hanya menghadirkan ruang hijau, tetapi juga membuka lapangan kerja baru dan menggerakkan ekonomi desa.
Contoh lain adalah Kampoeng Reklamasi Air Jangkang, Merawang, Bangka yang dikelola bersama organisasi konservasi ALOBI. Lahan bekas tambang disulap menjadi habitat alami bagi satwa liar dilindungi, termasuk beberapa jenis burung endemik. Upaya ini memperlihatkan dimensi lain reklamasi: bukan hanya untuk manusia, tetapi juga bagi keberlangsungan satwa.
“Pelibatan masyarakat menjadi kunci keberhasilan reklamasi. Dengan begitu, hasil reklamasi bisa terjaga karena masyarakat ikut memiliki dan merawatnya,” lanjut Anggi.B
Bagi PT Timah, reklamasi darat adalah bagian dari komitmen menjalankan praktik pertambangan berkelanjutan. Produksi tetap berjalan, tetapi pemulihan lingkungan tidak diabaikan. Pendekatan ini penting, mengingat aktivitas pertambangan timah telah berlangsung ratusan tahun di Babel dan meninggalkan tantangan serius berupa kerusakan lahan.
Kini, sebagian lahan pascatambang yang dulunya dianggap “tanah mati” mulai menunjukkan kehidupan baru. Pepohonan tumbuh, ekosistem satwa kembali, masyarakat ikut merasakan manfaatnya.
Reklamasi memang bukan pekerjaan instan, melainkan investasi jangka panjang. Namun, bila dikelola konsisten, ia bisa menjawab keraguan banyak pihak bahwa tambang hanya meninggalkan luka. Di Bangka Belitung, reklamasi darat PT Timah menjadi bukti bahwa bekas tambang bisa berubah menjadi ruang hidup yang bernilai ekologis sekaligus sosial. (*/timah.com)














